Saturday, September 5, 2020

Childhood Rants

Sabtu, 5 September 2020

        Hi, Blour. I am not so ready to write this one. I was thinking of writing about parents from my POV, like in general, but then I read the list again and it says “your parents”. How do I gonna write this? Hufffffff. Okay, I am okay.
        My parents are just like any other parents, they have their good sides and also less good (from what I think) sides. Nothing special, but I love them. Karena kau tahu, Blour, setiap orang tua pasti memiliki cara masing-masing untuk menjalani rumah tangga dan mendidik anaknya. Aku bersyukur memiliki orang tua seperti beliau. I would not lie to myself, because what I am today adalah karena orang tuaku juga. Jika aku mengingat-ingat cerita mereka, kadang aku berpikir apakah aku bisa sebaik mereka, sekuat mereka? Karena ya, perjuangan orang tuaku terdengar sangat besar dibandingkan aku. Meskipun aku sadar bahwa tantangan tiap generasi berbeda-beda. If I ever gonna be a parent, would I be better or at least as good? Kembali lagi ke kalimat ketiga di paragraf ini.
        Ada beberapa tahun dalam hidupku yang aku rasa sangat diatur oleh mereka. Masa-masa ketika aku duduk di bangku sekolah dasar, hingga awal SMP. Lebih tepatnya ke ibuku sih, eh setelah kuingat-ingat lagi sampai awal kuliah. Semacam beliau menginginkanku untuk bisa mencapai ini itu. Saat aku masih SD, aku diikutkan lomba saritilawah dan pidato bahasa Inggris. Maybe she saw me having the potential to do so. Beliau juga ingin aku bisa adzan di masjid, tilawah, dan ikut pesantren. Tapi, Blour, dari sekian banyak kata-kata motivatif dan persuasif beliau ke aku, yang cukup teringat adalah karena kedua kakakku sudah punya keinginannya masing-masing (redaksi sedikit dirubah). Jadi karena aku masih muda, masih bisa dibentuk lah istilahnya, aku dipakai untuk memenuhi keinginan beliau. Kasarannya begitu. I was quite stressed out back then. Ketika teman-temanku bermain, aku latihan, ketika teman-temanku study tour ke Bali, aku lomba. I was kinda sad. As an obedient kid, I did it anyway. Such a people pleaser. Namun, saat mm aku sudah punya kartu tanda penduduk, aku mulai sadar bahwa yang dilakukan beliau tujuannya baik. Toh dari situ juga aku bisa seperti sekarang. Cukup bisa berbicara di depan publik, cukup percaya diri dengan kemampuan bahasa Inggrisku, cukup mahir untuk lamis dan sepik-sepik, dan masih banyak lagi hal-hal positif yang berawal dari sana. Jiwa kompetitifku sepertinya juga dari sana. Cukup ambis sih aku ini, Blour, tapi ya kadang kalau tidak terpenuhi jadi membuatku cukup stres. Ngomong-ngomong soal tidak terpenuhi dan stres, ada kenangan yang sangat membekas ketika aku kecil. Dulu, kan kalau belanja biasanya ke Indogrosir --salah satu supermarket di Jogja-- Ketika itu, dari rumah aku sudah menginginkan untuk membeli sesuatu. Pokoknya pingin banget! (entah apa aku lupa, makanan atau majalah gitu). Nah, ternyata sesampainya di sana, nggak kebeli. Perasaanku kala itu adalah sedih dan marah, tapi tidak bisa apa-apa. Kalau tidak salah ibuku berkata,“mulane nek kepingin rasah banget-banget, mengko nek ora keturutan iso getun ngene iki” (translate: makanya kalau ingin sesuatu jangan terlalu besar, kalau tidak kesampaian bisa kecewa berat seperti ini). Those words made me even madder, tapi sekarang? Well, she was being realistic. Aku cuma belum sampai untuk memahami kala itu, haha.
        My dad compares to none on being strict. One time there was a pendakian massal saat SMA dan beliau tidak memperbolehkanku untuk ikut. I was obviously sad, because that might be my only chance of mendaki gunung lewati lembah sungai mengalir indah ke samudra. Begitu pula saat aku KKN, tapi saat itu Gunung Rinjani pascaerupsi, sih, jadi ya....., tapi teman-temanku yang lain mendaki dan tidak apa-apa...aku kan...juga mau :( Kemudian ada lagi, kalau beliau marah, tidak perlu membentak, tidak hanya aku, kakak-kakakku juga pasti merasakan. Ya namanya masih senang kumpul-kumpul ya, haha hihi, berkegiatan bersama teman-teman kadang lupa waktu. Awalnya ditanya jam berapa pulang, kok belum pulang...sampai pada “FAIZ” atau “PULANG”, tanpa tanda seru tanpa tanda titik. Yak di situ saya tahu, tidak bisa lagi untuk negosiasi dan “guys, aku harus pulang ehehehe”.
        Ceritanya lebih banyak tentang ibu ya? Karena memang lebih sering sama ibu, cerita juga ke ibu. Kalau bapak lebih dekat dengan kakak perempuanku. Apa memang kebanyakan begitu ya? Ah tidak juga sepertinya. I thought this post would be emotional, but, turns out to be some kind of rants from my childhood :)) I love you, mom, dad. Please be well. Don't worry about me :)
me with my parents, back in November 2019 saat aku mengantar Bapak Ibu piknik.


No comments:

Post a Comment