Ah, aku sudah lupa mimpi apa semalam. Padahal aku ingin menjadikannya pembuka postingan kali ini.
Menjelang siang tadi aku terbangun dan mendapati gawaiku tanpa energi. Setelah kunyalakan, usap sana usap sini sembari menunggu nyawa siap diajak pergi (kerja). Aku mendapati kabar yang sepertinya gembira untuk orang yang aku ikuti. Aku cukup terkejut, agak tidak percaya, tapi aku senang karena dia masih melanjutkan hidup. Kemudian aku mandi dan bersiap untuk hari ini. Namun, rasanya aneh. Aku merasa sedih. Merasa hidup ini tidak adil. Air terasa dingin dan busa terasa fana. Terdengar seperti aku melebih-lebihkan, ya? Coba yang ini. Tanpa terasa sudut mataku terasa hangat. Setetes air mata turun dari sana, lambat, selambat guliran jariku ketika sedang di dunia maya. Tersendat, terasa berat. Apakah ini air mata yang pekat? Sebelum makna menghampiri benak, segayung air menderu, menghempasnya layaknya realita. Dia tersapu, membisu.
The stress that I felt while telling myself not to be stressed was a total perpetual terror. I thought a single condensed tear was already pathetic, even unrealistic, but a hysterical cry was worse. Eh, but those two expressed rather different feelings, so maybe I shouldn't be comparing them both. Might as well stop comparing myself to others. This time I had caused my coworker a late lunchbreak. Sheesh. Being late because I had to calm myself down never happened before.
I am the one to blame, aren't I? Tapi, kenapa harus aku? What did I do wrong?
Dude, what is it?
ReplyDelete